Dulu.. Kita
sama2 mulai dengan langkah yang sama. Menapaki anak tangga pertama tanpa beban
apapun. Kamu tersenyum, nampak sangat bahagia. Ceria sekali. Melihatmu
tersenyum saja sudah cukup membuatku ikut bahagia. Kelima jari kita saling
bertautan. Ya, kita memang satu.
Kamu ingat
tidak? Saat kita sama2 teriakkan, sedihmu sedihku juga!! Mulai saat itu kita
sama2 berjanji untuk tidak menyimpan sedih kita sendirian. Semua orang saat itu
selalu bertanya kamu kemana saat aku berjalan sendirian. Apakah itu juga
berlaku padamu?
Kita mulai naik
ke anak tangga berikutnya. Masih bersama. Ada banyak masalah yang aku hadapi,
begitu juga kamu. Tapi, kita bisa sama2 melewatinya. Entah sudah berapa tetes
air mata yang sudah menemani perjalanan kita, namun senyum dan tawa selalu ada
di balik tetes air mata itu. Berkali-kali lipat.
Aku sudah
tidak berhitung lagi, kita sudah ada di anak tangga ke berapa. Tapi sepertinya
sudah cukup jauh karena kita sudah tidak bisa melihat lagi tanah dimana tangga
ini berpijak. Saat aku menoleh ke belakang mencoba menghitung anak tanga yang
sudah berhasil kita lewati, tiba2 jari2mu yang bertaut dengan jariku merenggang
lalu kemudian terpisah…
Sekarang..
Aku menapaki tangga ini sendirian. Kamu sudah jauh di atas sana. Dengan
keceriaanmu yang baru. Kadang, aku sedikit berlari dengan harapan bisa berjalan
bersamamu lagi. Namun, bahkan bayanganmu pun tak nampak.
Di
perjalanan, tidak jarang aku bertemu orang yang juga mengenalmu. Mereka bilang
kamu bahagia. Kamu sudah mendapatkan hidup yang baru. Tak apalah, ini sudah
ketetapan-Nya. Asal kamu tahu, bahagiamu
bahagiaku juga!
Kadang aku
mengeluh dalam hati, kenapa tangga ini begitu tinggi? Mana ujung tangganya?
Kamu mungkin sudah sampai di sana. Menurut mitos, ujung tangga ini adalah
kebahagiaan yang nyaris sempurna. Ah, entahlah! Aku rindu genggaman tangan
kita, aku rindu kamu!